Proses perjalanan perubahan kepemimpinan nasional di Indonesia senantiasa berangkat dari kondisi konflik politk nasional bukan dari tatanan sistem politik yang tertata secara baik. Mungkin baru pada pemilu 2004 kemunculan kepemimpinan nasional lahir dari sebuah sistem politik yang tersusun walaupun dengan segala ketergesaaannya dan belum diimbangi dengan infrastruktur politik yang matang sehingga tetap berefek pada stagnasi nasional. Konflik politik melahirkan heroisme bagaikan munculnya sang ratu adil bukan kepemimpinan politik. Kepemimpinan politik terlahir dari sebuah proses politik yang tertata dalam sebuah sistem politik yang ajeg. Sehingga seorang pemimpin yang muncul adalah yang memiliki visi politik bukan kharisma tradisional seperti ratu adil tersebut.
Pada awal kepemimpinan nasional, Soekarno sebagai pemimpin nasional pertama di Indonesia. Ia terlahir bukan dari sebuah sistem politik tetapi ia terlahir dari sebuah konflik politik masa transisi imperialilsme secara internasional sebagai wujud dari kesadaran internasional akan nation state (transisi kepemimpinan nasional jilid pertama). Pada masa itu bermunculan tokoh-tokoh nasional yang visioner seperti Moh. Hatta, Moh. Yamin, Moh. Natsir, Agus Salim, dll. Tokoh-tokoh tersebut termasuk Soekarno hanyut dalam konflik ideologi politik. Mungkin hal tersebut sebagai imbas dari peralihan kondisi politik internasional dari imperialisme wilayah kepada kerjasama ideologis sehingga muncul blok barat dan blok timur, negara-negara komunis, negara Islam, negara-negara sosialis dan negara non-blok. Konflilk ideologi politik tersebut berefek tidak mampu menciptakan sebuah sistem politik nasional yang ajeg. Sistem politik senantiasa berganti-ganti sehingga melahirkan ketidak stabilan politik dan berujung pada suasana tragis yakni G 30 S.
Pasca G 30 S melahirkan transisi kepemimpinan nasional jilid kedua dengan memunculkan Jenderal Soeharto. Ia juga tidak terlahir dari sebuah sistem politik tetapi ia terlahir dari konflik politik. Mungkin juga ia terlahir dari sebuah sistem kemiliteran Indonesia yang dibawa oleh Jenderal Nasution untuk senantiasa ikut serta dalam kancah politik praktis dengan munculnya legitimasi sosial politik ABRI. Peristiwa G 30 S merupakan masa berakhirnya konflik ideologis dan Ia (Soeharto) muncul bagaikan pahlawan (hero). Ia memunculklan ideologi pembangunan dengan pendekatan stabilitas dan kesejahteraan. Dengan pendekatan tersebut pembangunan sistem polttik menjadi terabaikan, partai politik menjadi mandul dan formalistis, partisipasi politik berubah menjadi mobilisasi politik, lembaga-lembaga negara seperti legislatif dan yudikatif berubah menjadi bagian dari sebuah birokrasi eksekuktif dan kebijakan politik sangat tergantung pada seorang Soeharto.
Kondisi negara yang refresif tersebut dan tergantung pada Soeharto berlangsung selama 32 tahun. Hal tersebut menunjukkan Soeharto tidak memiliki visi politik untuk membangun sistem politik yang lebih teratur dan ajeg sehingga sepeninggal dia terjadi kemelelut politik dengan memunculkan transisi kepemimpinan nasional jilid ketiga. Masa Habibie dapat dikatakan sebagai peristiwa konstitusional bukan suksesi kepemimpinan nasional. Awal suksesi kepemimpinan nasional dapat beranjak dari pemilu 1999. Pemilu 1999 dapat dikatakan sebagai pemilu demokratis kedua pasca pemilu 1955. Pada pemilu 1999 bermunculan partai-partai politik sehingga sering disebut masa eporia politik. Kemunculan partai-partai politik yang lahir secara premature tidak melahirkan kematangan akan lahirnya kepemimpinan nasional sehingga dengan mudah terjadi pergantian kepemimpinan nasional dan berefek terjadi instabilitas politik. Bahkan yang muncul banyak berangkat dari tokoh-tokoh masyarakat (ormas) seperti Gus Dur, Amin Rais dan Sultan Hamengkubuowno X yang terkenal dengan pertemuan Ciganjur bukan dari infrastruktur politik yang seharusnya dapat mempersiapkan pemimpin-peminpin politik. Mungkin hanya Megawati sebagai tokoh partai politik tetapi ia pun muncul popularitasnya secara premature sebagai produk dari refresif negara bukan dari sebuah proses politik yang normal sehingga kemunculannya lebih mengedepankan kharisma tradisionalnya. Ia popular 3 tahun menjelang jatuhnya Soeharto.
Sepuluh tahun pasca jatuhnya rejim Soeharto telah melahirkan 4 presiden RI. Padahal 2 Presiden sebelumnya memimpin 20 dan 32 tahun. Kondisi ini apakah menunjukkan rapuhnya seorang pemimpin? Atau tidak adanya sistem yang tertata secara baik? Sehingga kesenjangan kepemimpinan begitu jauh. Kondisi politik seperti itu juga seperti di perparah dengan saling menjatuhkannya antara lembaga negara dimana di masa Orde Lama dan Orde Baru sistem politik lebih menunjukkan eksekutif heppy sedangkan memasuki era reformasi berbalik menjadi legislative heppy. Mungkin baru pada pemilu 2004 kondisi agak seimbang walaupun tetap masih terlalu condong pada legislatif happy, akan tetapi ada pembatasan dimana legislatif tidak dapat menjatuhkan eksekutif karena eksekutif memiliki lagitimasi kuat melalui pemilihan langsung.
Babak baru dimulai dari pemilu 2004. Akan tetapi sistem multi partai belum menjadi sebuah solusi untuk terjadinya seleksi kepemimpinan nasional yang mengarah kepada tujuan negara. Partai-partai politik lebih mengedepankan kepentingan keselamatan partainya karena banyaknya ranjau politik yang ditanam partai-partai besar sehingga kebijakan akan out put sebuah sistem politik lebih mengedepankan keselamatan partai-partai yang ada seperti dihapuskannya electoral treesold walaupun diganti dengan Parlementary treesold. Kondisi ini juga senantiasa melahirkan perubahan UU Politik yang terus menerus menjelang pemilu. Perubahan UU Politik sepertinya menjadi sebuah agenda penjegalan partai bukan untuk membentuk sistem politik yang ajed sehingga dapat dievaluasi minimal 2 sampai 3 kali pemilu bukan perpemilu. Atau mungkin juga hal ini menunjukkan terlalu dinamis para politisinya.
0 comments:
Post a Comment
Silahkan tinggalkan pesan jika artikel ini membantu ^_^